Tokorame Dibilang MLM? Yaelah, emang paham MLM itu apa?

9 Januari 2024
5 menit baca
Rahadyan Prabhasworo
tokorame-dibilang-mlm-yaelah-emang-paham-mlm-itu-apa

Menjadi seorang marketing di Tokorame membuat saya memiliki inisiatif untuk jalan-jalan dan bertemu dengan orang lain sekaligus menyelipkan beberapa kalimat sampai paragraf mengenai Tokorame. Tidak jarang orang merespon dengan “ohh MLM gitu ya”. Tidak salah, tapi dengan adanya stigma negatif tentang MLM pada masyarakat membuat saya sedikit tidak terima. Padahal memang iya, Tokorame memiliki layering dalam pendistribusian produknya.

Jadi dalam satu sisi secara arti, Tokorame memang menganut teknik MLM. Tapi kami tidak hanya mempertaruhkan produk kita hanya pada Distributor yang siap menampung banyak serta menawarkan produk “mimpi” untuk merekrut jaringan di bawahnya. Mimpi orang-orang meraih kekayaan agar bisa menikmati jet pribadi, rumah mewah selayaknya sinetron indosiar, liburan dengan kapal pesiar, atau keliling daerah dunia tanpa memikirkan uang apalagi keterbatasan waktu.

Karena dari sedikit paham yang saya ketahui, MLM ini didekati oleh stigma negatif akibat beberapa pelaku lebih gencar dalam perekrutan orang ketimbang memperkenalkan produk yang akan dijualkan. Mungkin ini sekedar suudzon, atau mungkin iya. Produk ini tidak terjual atas dasar manfaat, melainkan iming-iming bonus atau keuntungan yang lajur adanya jauh dari nalar sehingga menyebabkan produk ini tidak pernah sampai kepada konsumen sebenarnya. Tapi memang sebenarnya strategi utama dari MLM adalah menjadikan konsumen sebagai penjual atau penyiar dari produk yang akan kita jualkan.

MLM pun kerap dihinggapi oleh stigma negatif karena banyaknya praktik money game yang dibalut dengan MLM ini. Karena sebenarnya MLM adalah salah satu pilihan sistem distribusi produk penjualan suatu perusahaan. Money game yang dimaksud ini langsung menjurus pada suatu skema, yaitu skema ponzi. Umumnya money game memberikan iming-iming profit yang menjulang dan tidak jelas perhitungannya, para korban pun disebut sebagai member ataupun agent mereka dalam pendistribusian produk yang harus ada pembelian di awal, maupun pembelian rutin perbulannya dengan bayangan strategi si konsumen dapat juga menjualkan lagi produk yang sudah dibeli dan mendapatkan untung serta reward yang fantastis. Produk yang diberikan pun rata-rata jauh lebih mahal dari harga umumnya.

Sistem kerja dari skema ponzi akan mengeruk uang dari para member baru untuk memberikan keuntungan kepada member lama yang dianggapnya perlu dipertahankan, dan sisanya kembali untuk keuntungan pelaku perusahaan. Jadi perputaran uang yang ada pada pelaku perusahaan bukanlah produk melainkan uang para member yang diputar, bukan juga untuk investasi, namun hanya untuk menutup janji mereka kepada member lama yang dianggapnya potensial dan harus dijaga kepercayaannya.

Kembali juga ke point lain di paragraf sebelumnya, bahwa pelaku MLM bukan lagi menjualkan produk melainkan keuntungan jika bisa menjualkan kembali produk yang ada, mungkin bisa dikarenakan produk yang ada ini tidak memiliki nilai jual untuk masyarakat banyak. Atau memang ada manfaat dari produk tersebut, orang yang menggunakan atau mengonsumsinya sulit didapatkan.

Dari penuturan narasumber yang dimiliki penulis, munculnya stigma negatif yang ada ini pun hadir juga karena para member yang berkutat di MLM seperti dipaksa berbohong untuk menciptakan citra positif setelah bergabung sebagai member produk tersebut. Jika pun bukan suatu kebohongan, para member ini dipaksakan untuk bisa memperlihatkan kesuksesan dari bentuk barang yang dimiliki. Padahal barang yang dimiliki ini sangat susah payah untuk didapatkan (kasar: setengah mampus, mending uangnya dipake untuk kebutuhan primer gua). Seperti contohnya adalah si narasumber yang dulu pernah terlingkup di MLM dipaksa untuk membeli beberapa gadget seperti handphone bagus, ataupun tab yang perlu diakui bahwa itu adalah hasil dari penjualan produk yang ada.

Kalau memang harus mengakui, Tokorame memang menggunakan skema MLM yaitu Multi Level Marketing, yang mana para mitra Tokorame bisa mengajak orang lain untuk bergabung, serta mendapatkan komisi dari aktivitasnya, maka dari itu ada beberapa level di Tokorame, dari distributor, agen, bahkan reseller. Tapi yang membuat saya tidak terima adalah stigma negatif yang ada bisa melekat juga ke Tokorame.

Padahal, Tokorame adalah sebuah aplikasi yang memiliki solusi untuk orang-orang dengan mimpi besar dalam berbisnis. Bisa mudah memiliki pasokan barang untuk berjualan, tidak pusing masalah modal untuk produk siap jual, karena di Tokorame menggunakan sistem dropship, atau sekedar share link untuk konsumen memilih dan beli langsung dari webstore. Jadi bergabung di Tokorame pasti untung, ga mungkin buntung. Karena kita tidak memaksa untuk mitra kita melakukan stok produk, dan kita tidak melarang mereka melakukan stok produk karena bisa menjadi produk sample yang dimiliki untuk mereka berjualan.

Masalah keuntungan? Di Tokorame sangat transparan dari segi diskon dan komisi yang bisa dicairkan kapanpun karena bentuk diskon dan komisi adalah persenan. Mau dapat reward lebih dari keuntungan? Di Tokorame juga ada sistem point, yang mana tiap individu yang tergabung pada Tokorame dapat monitor langsung jumlah point yang dimilikinya untuk ditukarkan dengan reward yang ada, dari sekedar pulsa, logam mulia, motor, sampai dengan tiket umrah.

Produk yang dijualkan oleh Tokorame pun jelas, produk fashion yang diminati oleh banyak orang. Para produsen yang terkumpul dalam Tokorame pun tidak hanya diam sekedar menunggu hasil dari para mitra saja. Produsen gencar untuk mengaktifkan nama brandnya untuk lebih diminati oleh para konsumen, serta memudahkan mitra untuk beraktivitas jualan. Seperti halnya dengan brand MYSURE yang bisa coba kalian akses secara digital. Setiap kanal digital sudah dikembangkan oleh brand tersebut. Bahkan beberapa pameran offline pun rutin diikutkan untuk mengembangkan brand.

Mungkin di tulisan lainnya akan coba saya bahas mengenai kenapa Tokorame lebih fokus pada produk fashion, dan juga kenapa sih di Tokorame ada sistem layering yang terkesan MLM dengan babak belur dengan stigma negatifnya.